WAKAF AHLI
Oleh : Dr. Fahruroji, Lc,
MA
Wakaf ahli adalah wakaf yang manfaatnya diperuntukkan bagi
kesejahteraan umum sesama kerabat berdasarkan hubungan darah (nasab) dengan
wakif. Wakaf ahli memiliki landasan hukum dari hadis Rasulullah ketika
memberikan petunjuk kepada Abu Thalhah yang akan mewakafkan harta yang paling dicintainya yaitu kebun
kurma “Bairoha” sebagai respon langsung atas turunnya firman Allah QS. Ali Imran
ayat 92 yang artinya: “Kamu sekali-kali tidak sampai kepada (kebajikan) yang
sempurna sebelum kamu menafkahkan sebagian harta yang kamu cintai”. Rasulullah
kemudian mengatakan kepada Abu Thalhah agar manfaat harta itu diberikan kepada
keluarganya. Selain Abu Thalhah, sahabat Nabi yang lainnya melaksanakan wakaf
ahli seperti Abu Bakar yang mewakafkan tanahnya di Mekah untuk anak
keturunannya dan Zubair bin Awwam yang mewakafkan rumahnya untuk anak
keturunannya.
Wakaf ahli terus dilaksanakan oleh umat Islam, tercatat Imam
Syafi’i mewakafkan rumahnya di Fustat (Kairo) untuk anak keturunannya. Pada
saat khilafah Utsmaniyah berkuasa di Turki, pada abad 18 tercatat pendapatan
wakaf ahli sebesar 14.20% dan pada abad 19 sebesar 16.87% dari total pendapatan
wakaf. Di Aleppo antara tahun 1718 dan 1800 dari total 687 wakaf, jumlah wakaf
ahli sebanyak 39.3%, wakaf khairi sebanyak 50.7%, dan wakaf musytarak (wakaf
ahli dan wakaf khairi/sosial) sebanyak 10%. Bahkan di Mesir wakaf ahli lebih
populer dan pada tahun 1928-1929 menghasilkan lebih banyak pendapatan daripada
jenis wakaf lainnya.
Meskipun wakaf ahli bagian dari ajaran Islam yang ditetapkan
oleh Rasulullah dan sudah banyak praktiknya, namun beberapa negara telah
menghapus atau membatalkannya seperti Turki tahun 1926, Lebanon tahaun 1948,
Syria tahun 1949, Mesir tahun 1952, Irak tahun 1954, Libya tahun 1974, dan
Emirat tahun 1980. Penghapusan wakaf ahli ini disebabkan oleh beberapa faktor
di antaranya: tekanan dari penjajah, dianggap melanggar hukum waris, buruknya
pengelolaan wakaf ahli, dan dianggap kurang dapat memberikan manfaat bagi
kesejahteraan umum.
Namun demikian, masih banyak negara yang tetap melegalkan
praktik wakaf ahli seperti Kuwait, Singapura, Malaysia, dan Indonesia karena
dianggap dapat mewujudkan kemaslahatan yang besar yaitu mendorong orang untuk
berwakaf dan memperbanyak harta wakaf. Di Indonesia wakaf ahli diatur dalam
Pasal 30 ayat (4), ayat (5), dan ayat (6) Peraturan Pemerintah Nomor 42 tahun
2006 tentang pelaksanaan Undang-Undang wakaf yang berbunyi “Pernyataan kehendak
wakif dapat dalam bentuk wakaf khairi atau wakaf ahli. wakaf ahli diperuntukkan
bagi kesejahteraan umum sesama kerabat berdasarkan hubungan darah (nasab)
dengan wakif. Dalam hal sesama kerabat dari wakaf ahli telah punah, maka wakaf
ahli karena hukum beralih statusnya menjadi wakaf khairi yang peruntukannya
ditetapkan oleh menteri berdasarkan pertimbangan BWI.”
Dalam praktiknya di Indoenesia, terjadi pemahaman yang
keliru bahwa jika wakaf dikelola oleh nazhir dari wakif atau keturunannya maka
itulah wakaf ahli. Padahal perbedaan wakaf ahli atau wakaf khairi terletak pada
penerima manfaatnya (mawquf alayh) bukan pada nazhirnya. Wakaf ahli dapat
dikelola oleh nazhir dari wakif atau keturunannya atau dikelola oleh nazhir
lainnya yang bukan wakif atau keturunannya tetapi manfaat atau hasil
pengelolaannya diperuntukan bagi kesejahteraan umum sesama kerabat berdasarkan
hubungan darah (nasab) dengan wakif.
Meskipun praktik wakaf ahli sudah sejak lama diperbolehkan
di Indonesia, namun tidak pernah ada publikasi data jumlah wakaf ahli.
Ketiadaan data jumlah wakaf ahli menurut saya disebabkan karena dalam formulir
akta ikrar wakaf tidak disebutkan pilihan jenis wakaf apakah wakaf ahli, wakaf
khairi, atau wakaf musytarak. Wakaf ahli ditetapkan oleh wakif dengan mengisi
kolom “untuk keperluan” misalnya biaya pendidikan anak keturunan wakif. Tentu
saja, hanya wakif yang paham saja yang akan menetapkan wakafnya sebagai wakaf
ahli dengan mengisi kolom “untuk keperluan” sebagaimana telah disebutkan di
atas. Hal ini berbeda jika dalam formulir akta ikrar wakaf tersedia pilihan
jenis wakaf: ahli, khairi, atau musytarak, maka wakif dapat menetapkan wakafnya
dengan memilih salah satu jenis wakaf dan menetapkan mawquf alayh-nya.
Pada saat penghimpunan wakaf yang masih minim atau belum
maksimal seperti sekarang ini, maka untuk memaksimalkan penghimpunan wakaf atau
untuk mendorong wakaf-wakaf baru yang produktif, maka wakaf ahli dapat menjadi
program unggulan lembaga-lembaga wakaf. Akan tetapi agar manfaat wakafnya tidak
hanya dinikmati oleh keturunan wakif namun dapat dinikmati juga oleh masyarakat
umum, maka wakaf ahli dapat dikombinasikan dengan wakaf khairi. Dengan demikian
melalui instrumen wakaf ahli dan wakaf khairi atau yang disebut dengan wakaf
musytarak, seseorang yang memiliki harta dan ingin mewakafkan hartanya untuk
kepentingan umat tidak lagi khawatir dengan kesejehteraan keluarga atau
keturunannya karena wakaf yang diberikannya tetap dapat memberikan
kesejahteraan bagi keluarganya atau keturunannya. Ibadah wakaf dengan pahalanya
yang berkelanjutan atau tidak terputus dapat diraih, masyarakat sangat terbantu
kesejahteraannya, pada sisi lain keluarga atau keturunan tetap dapat memperoleh
hasil atau keuntungan dari harta wakaf, itulah keutamaan wakaf (wakaf
musytarak; ahli dan khairi) dibanding ibadah harta lainnya.